Ungkapan Urang Banjar


MAKNA UNGKAPAN TRADISIONAL DAERAH BANJAR
DR. Zulkifli Musaba, M.Pd
(Dosen FKIP Unlam Jur. Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah)

A. Ungkapan Tradisional Daerah Banjar yang Mengandung Nilai Religius (agama)
Dari beberapa informan, penulis mencatat beberapa ungkapan yang mengandung nilai religius, yaitu antara lain:

Peta Kalimantan Selatan

(1) “Balang Kambingan”
Ungkapan di atas, mencerminkan perilaku seseorang yang tidak teratur kegiatan hidupnya terutama dalam hal beribadah kepada Allah (salat). Orang seperti ini, cenderung bersifat malas, artinya salat yang ia kerjakan itu tidak rutin. Dia hanya akan mengerjakan salat, apabila ada keinginan atau pada waktu-waktu tertentu saja. Pesan agama yang dapat diambil pada ungkapan itu adalah hendaknya kita selaku muslim dapat mengerjakan salat setiap waktu, dan dikerjakan dengan penuh keikhlasan semata-mata karena Allah, SWT serta tidak merasa terbebani oleh kewajiban dari Allah, SWT.

(2) “Mancaricit Banar”
Tuturan di atas, identik dengan seseorang yang dianggap lancar dan fasih dalam membaca Al-Quran. Kelancaran dan kefasihan tersebut, diperlihatkan dari lagu yang ia lantunkan dan dari kelafalan huruf-huruf uang ia ucapkan. Adapun pesan agama yang disampaikan pada ungkapan di atas adalah menyeru kepada kita (umat Islam) agar senantiasa belajar membaca Al-Quran dengan baik dan benar guna menunjang ibadah-ibadah lain yang mayoritas diawali dan diakhiri dengan membaca Al-Quran.

(3) “Bajuju”
Ungkapan di atas, merupakan antonym dari mancaricit, yaitu ungkapan yang menggambarkan tidak lancar dan tidak fasihnya seseorang dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Sedangkan pesan religius yang disampaikan pada ungkapan di atas adalah sama dengan pesan yang ada pada ungkapan “mancaricit” yaitu agar kita berusaha atau belajar membaca Al-Quran dengan baik dan benar.

(4) “Bunyi Paalimnya”
Terkadang manusia merasa lebih pintar dan lebih tahu daripada orang lain. Kalau dia pernah belajar tentang ilmu agama, maka ia akan selalu menampakkan kelebihannya itu. Ia cendrung berbuat dan bertindak menurut kata hatinya, tanpa mau mendengar dan menghargai pendapat orang lain. Orang seperti ini selalu ingin dihormati, ia juga merasa terhina kalau diberi nasihat, dan dikritik oleh orang lain. Pesan atau nilai religius yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah bahwa kita selaku hamba Tuhan, harus menuntut ilmu dan menggunakan ilmu tersebut untuk kepentingan orang banyak, serta tidak merasa diri paling tahu tentang segala hal terutama tentang ilmu agama Islam.

(5) “Hatinya Barasih”
Arti dari ungkapan di atas adalah seseorang yang tulus dan ikhlas atau ketika dia menolong orang lain, dilandasi oleh rasa kemanusiaan dan tidak mengharapkan imbalan apa-apa. Sedangkan nila religius yang terkandung pada ungkapan tersebut agar kita selaku muslim, harus saling tolong dan saling Bantu. Dalam ajaran Islam, dijelaskan bahwa orang islam itu bersaudara. Oleh sebab itu, apabila muslim yang satu sakit maka yang lain pun turut merasakannya dan membantu untuk meringankan penderitaan saudaranya tersebut.

(6) “Sudah Nasibnya”
Ungkapan di atas, mencerminkan seseorang yang sudah putus asa. Ia selalu gagal dalam setiap usahanya. Segala cara dan upaya telah ia lakukan, tetapi hasilnya tetap saja nihil. Nilai religius yang disampaikan pada ungkapan di atas adalah agar kita senantiasa tetap bersabar dalam berusaha dan diselingi doa kepada sang pencipta serta yakin kalau Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik kepada setiap hamba-Nya yang bersabar.

(7) “Purici”
Ungkapan yang senada dengan tuturan di atas adalah “patuh mararigat”. Dalam istilah Bahasa Banjar, orang seperti itu cendrung berlaku dan bersikap sembarangan. Artinya, dia sama sekali tidak mencintai kebersihan, kerapian, keindahan. Allah pernah menyatakan bahwa Islam itu bersih dan tidak akan masuk Surga, kecuali orang-orang yang bersih. Untuk itu, sepatutnyalah kita berlaku dan bersikap bersih guna menunjang dan memperlancar ibadah lain terlebih adanya pepatah Arab yang mengatakan bahwa “Kebersihan adalah sebagian dari iman”

(8) “Banyak Kolehan, tapi kada Babarkat”
Sungguh ironis, jika seseorang telah bekerja dengan segala daya upaya dan tentunya dengan hasil yang memuaskan, justru tidak dapat memberi manfaat yang berarti kepadanya. Hasil yang ia dapatkan dengan susah payah itu, seakan-akan habis tanpa bekas, tanpa meninggalkan sesuatu yang berarti bagi diri dan keluarganya. Kenyataan tersebut, bias disebabkan oleh beberapa hal seperti tidak halalnya pekerjaan yang ia lakukan dan ia tidak pernah puas dengan apa yang ia dapatkan (selalu ingin lebih) bahkan mungkin, dia tidak pernah mensyukuri ni’mat yang diberikan Allah kepadanya. Dengan beberapa alas an tersebut, maka sepantasnyalah kita menerima apa adanya dan mensyukuri ni’mat yang kita dapatkan.

(9) “Kolehan Sedikit tapi Babarkat”
Tuturan di atas, merupakan lawan dari “Kolehan Banyak, tapi kada Babarkat”. Seorang hamba yang menerima apa adanya terhadap pemberian Tuhan, akan selalu mensyukuri ni’mat itu. Dia tidak memandang sedikit atau banyaknya hasil yang didapat, yang terpenting baginya adalah cukup untuk keperluan sehari-hari. Dengan penghasilan yang sedikit, dia bias memanfaatkannya secara baik dan yang terpenting, dia merasa bahagia dengan apa yang ia dapatkan.

(10) “Bisa Dua Kulit”
Dalan ajaran Islam, apabila seseorang mempunyai sifat yang tidak jujur maka ia dinamakan munafik. Sifat munafik tersebut, sering dilakukan oleh orang yang tidak senany atau iri dengan keberhasilan orang lain. Di depan orang tersebut, dia memuji habis-habisan dan seakan-akan dia turut merasakan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang lain. Sedangkan ketika dia berbicara di belakang dengan orang lain, justru menghina dan menghardik orang tersebut, serta berusaha agar orang lain ikut membencinya. Pesan religius yang disampaikan pada ungkapan di atas adalah supaya kita senantiasa berlaku jujur dan tidak dengki dengan keberhasilan orang lain. Dikala kita berbicara baik di depan ataupun di belakang, semuanya harus sama dan berdasarkan kenyataan yang ada.

(11) “Asal Dikiyau, Inya datang”
Ungkapan di atas, mencerminkan seseorang yang selalu hadir pada setiap acara syukuran. Orang seperti ini, sangat senang bersilaturrahmi. Siapapun dan dimanapun orang mengundangnya, ia selalu berusaha untuk dating asal tidak ada satu halangan atau pekerjaan yang sangat mendesak. Istilah lain yang senada dengan ungkapan di atas adalah “panulakan”. Ia berusaha meluluskan hajat orang lain. Biasanya, orang seperti ini sangat disenangi oleh orang banyak. Hal itu wajar, mengingat sifat dan sikapnya yang ringan hati. Adapun nilai religius yang dapat diambil dari ungkapan di atas adalah hendaknya selaku orang Islam atau Muslim, selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan meluluskan hajat orang, serta senang bersilarurrahmi.

(12) “Mawiwir Anggit Urang”
Dalam hokum Islam, seseorang yang mengambil kepunyaan orang lain yang bukan hal miliknya disebut zolim. Sifat yang merugikan orang lain itu, perlu kita tinggalkan guna kelangsungan hidup bermasyarakat dan beragama. Pernyataan di atas, kiranya sangat tepat dengan ungkapan “Mawiwir Anggit Urang”. Seorang hamba Tuhan, tidak akan menikmati indahnya surga, selama dalam hatinya masih ada tersisa hak orang lain yang ambil tanpa sepengetahuan dan tanpa seizing pemiliknya. Adapun ajaran agama yang dapat kita teladani dari ungkapan itu adalah senantiasa bersikap adil terhadap sesama manusia, tidak mengambil atau mengaku kepunyaan orang yang bukan milik kita, dan laksanakanlah Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

B. Ungkapan Tradisional Daerah Banjar yang Mengandung Nilai Sosial Kemasyarakatan

Penulis juga mencatat beberapa ungkapan yang mengandung nilai social. Nilai-nilai sosial itu diungkapkan oleh beberapa informan yang memahami tentang etika pergaulan sekaligus adanya realita yang sangat memprihatinkan dalam masyarakat sekarang. Adapun ungkapan tradisional daerah Banjar yang mengandung nilai-nilai social adalah

(13) “Ambak-ambak Bakut, Maharayani Jua”
Dalamnya lautan, dapat diukur tetapi diamnya hati manusia tidak dapat diterka. Seseorang yang banyak dian tentu akan berdampak baik bagi dirinya bahkan bagi orang lain. Lain halnya dengan ungkapan di atas, “Ambak-ambak Bakut” melambangkan seseorang yang mempunyai sifat pendiam namun membahayakan (diam-diam bernada negatif). Orang seperti ini cendrung untuk selalu menutup diri. Dia tidak ingin orang lain mengetahui jati dirinya. Dengan sifat diam, dua berusaha untuk mengelabui semua orang yang pada dasarnya mempunyai perilaku tidak baik dan salah satunya adalah selalu ingin menang sendiri. Sedangkan nilai sosial yang dapat kita ambil dari ungkapan itu adalah agar kita selalu terbuka dengan orang lain dan senantiasa bersikap baik guna mempercepat hubungan silaturrahmi dalam masyarakat, sehingga akan tercapai suatu kondisi yang dinamis dan kondusif.

(14) “Manyadia Haja”
Manusia adalah makhluk sosial yang saling memerlukan. Tidak ada seorang pun yang mampu hidup sendiri, tanpa bantuan orang (zoon Politicon). Olah karena itu, sikap saling tolong, harus kita lestarikan. Jangan berpaku tangan untuk mengharap jasa orang lain. Jangan mau enaknya sendiri, bekerjalah bersama demi kepentingan masyarakat. Pantaslah, jika ungkapan di atas menyerukan kepada kita untuk selalu tenggang rasa dan berlaku adil demi kerukunan bermasyarakat.
Orang Banjar pada zaman dahulu pernah berpesan “Jangan Manyadia Haja” artinya jangan terima bersihnya saja dan jangan mau enaknya saja. Orang lain bekerja, dia yang menikmatinya. Orang lain yang bersusah payah, dia yang tertawa. Nah, jangan kita mempunyai sikap yang demikian sebab akan merugikan bagi diri kita sendiri bahkan bagi orang lain.

(15) “Kada Mambadai Salahnya, Ditumburakan Jua”
Dalam masyarakat yang harmonis, sangat dituntut adanya saling pengertian atau pemahaman antarsesama. Hal itu penting, karena untuk mempersatukan visi dan misi yang telah dicanangkan. Contoh, apabila ada masalah sepele yang mungkin merusak nilai persatuan dan kesatuan, supaya jangan dihiraukan atau dibesar-besarkan. Hadapi masalah itu dengan kepala dingin dan saling percaya, saling menerima dan saling terbuka. Anggap saja masalah yang sepele itu adalah hal yang biasa dan dapat terjadi dimana dan kapan saja.
Pada masyarakat Banjar yang dikenal akrab, kebiasaan saling percaya merupakan tradisi lama yang membudaya. Namun, pada saat ini sudah mulai pudar. Apalagi di saat memanasnya politik di tanah air yang secara tidak langsung merembet ke Kalimantan Selatan. Dari uraian itu, kiranya dapat kita ambil sebuah pelajaran (nilai sosial) yaitu bahwa kita tidak boleh membesar-besarkan suatu masalah, demi keutuhan persahabatan dan terlebih lagi keutuhan persaudaraan.

(16) “Kada Titik Banyu di Ganggam”
Ungkapan yang senada dengan istilah di atas adalah “engken”. Ungkapan tersebut, sering ditujukan kepada seseorang yang sangat kikir. Dia memandang, bahwa harta atau kekayaan yang dia miliki adalah hasil jerih payahnya dan orang lain tidak boleh menikmatinya. Dengan demikian, sangat sulit dan berat sekali baginya untuk menyumbangkan sebagian (sedikit) hasil kekayaannya itu.
Dalam kehidupan bermasyarakat, sangat dituntut untuk bersifat ringan tangah. Hal itu wajar, mengingat masih banyaknya sahabat dan saudara kita yang memerlukan bantuan dan sentuhan tangan orang-orang uang berduit. Adapun nilai sosial yang dapat kita teladani pada ungkapan di atas adalah bahwa dalam hidup sehari-hari, kita perlu saling tolong, menafkahkan sebagian rezki yang kita dapat dan tentunya tidak hanya berpangku tangan untuk kepentingan bersama.

(17) “Cacaringih”
Cacaringih bagi orang Banjar, merupakan sifat yang sangat tidak disenangi apalagi dalam kehidupan bermasyarakat. Cacaringih adalah satu tingkah laku atau suatu sifat yang tidak memberikan kesempatan kepada orang lain. Dia selalu memonopoli dalam hal berbicara, bagaimanapun situasinya dan apapun materinya. Sedangkan nilai sosial yang dapat kita ambil dari ungkapan itu adalah agar kita senantiasa memberi kesempatan kepada orang lain, untuk memberikan pendapatnya (berbicara). Janganlah kita banyak bicara, apalagi untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Berbicaralah kalau perlu dan diamlah untuk berpikir.

(18) “Unggut-unggut Samuning”
Orang selalu diam ketika diberi nasihat dan tidak melaksanakannya dengan baik, disebut ambak-ambak bakut. Sedangkan orang yang selalu tunduk (mengiyakan) setiap nasihat yang diberikan tetapi juga tidak melaksanakannya, disebut unggut-unggut samuning. Dikatakan demikian, karena pada zaman dahulu di kampung Banjar, hidup seorang anak yang bernama Samuning. Ketika diberi nasihat (papadah), si Muning selalu menriyakan (manggut-manggut). Anehnya, walaupun ia manggut-manggut atau setuju dengan nasihat-nasihat itu dia malah tidak mengerjakannya. Pada ungkjapan di atas, mengandung satu nilai sosial yaitu hendaknya kita jangan mempunyai sifat seperti si Samuning yang selalu patuh dengan nasihat orang tua, tetapi tidak melaksanakannya. Ibarat pepatah “Lain di Mulut, Lain di Hati”.

(19) “Samuak Saliur”
Jika ada dua sahabat atau lebih, selalu bersama dan bahkan hampir tidak ada permusuhan di antara mereka, maka mereka pantas untuk diteladani. Jika ada sebuah persahabatan yang tulus, tidak memandang kaya miskin, harkat, dan drajat maka itulah persahabatan yang sejati. Jika ada sebuah ikatan persahabatan yang melebihi saudara, selalu memberi dan menerima, saling mengasihati, dan saling menghargai, maka itulah persahabatan yang mulia. Pernyataan-pernyataan di atas, sangat pantas jika diibaratkan dengan ungkapan “Samuak Saliur” yang dalam masyarakat Banjar berarti persahabatan yang dijalin sejak kecil sampai dewasa. Selama hidupnya, mereka selalu berdua, makan dan minum berdua, segalanya selalu dilakukan berdua.

(20) “Sarantang Saruntung”
Ada sedikit perbedaan antara Samuak Saliur dengan Sarantang Saruntung. Samuak saliur, identik dengan kesediaan kedua orang yang bersahabat itu untuk makan dan minum bersama. Dalam melaksanakan setiap aktivitasnya, selalu bersama. Lain halnya dengan Sarantang Saruntung, pada ungkapan ini, menitikberatkan pada kebersamaan kedua sahabat itu. Kapan dan dimanapun mereka selalu bersama, tetapi belum tentu samuak saliur. Adapun nilai sosial yang dapat kita ambil pada kedua ungkapan itu adalah hendaknya dalam bergaul, kita tidak memandang harkat dan martabatnya, harta kekayaan, dan sebagainya. Jalinlah persahabatan dan persaudaraan dengan rasa tulus dan ikhlas. Bantulah, saling menyayangi, dan tenggangrasalah terhadap sesama agar tercapai sebuah kebahagiaan yang diidam-idamkan dan rasa amanpun, akan dapat kita nikmati.

(21) “Maurak Bulu”
Istilah Maurak Bulu, biasanya ditujukan kepada laki-laki ataupun perempuan yang mulai menginjak usia remaja. Pada usia ini, mereka sudah mulai berani berpenampilan seperti orang dewasa bahkan segala tindakan mereka berasumsi kepada orang yang lebih dewasa. Misalnya, dalam hal berpakaian mereka akan berusaha tampil lebih baik bahkan kelihatan sangat mencolok. Hal itu mereka lakukan dengan harapan agar ada respon dari orang lain dan adanya keinginan sebuah pengakuan dari orang bahwa dia telah remaja. Adapun nilai sosial yang dapat kita contoh pada uraian di atas adalah seseorang boleh berpenampilan menarik tetapi tidak harus berlebihan. Seseorang boleh berubah atau meningkat menjadi dewasa tetapi jangan sampai melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma-norma agama maupun norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.

(22) “Bacakut Papadaan”
Ungkapan senada dan mempunyai arti yang sama dengan istilah di atas adalah “Kada Urang-urang Lagi”. Ungkapan tersebut, menggambarkan suatu perselisihan atau permusuhan yang terjadi antar kerabat sendiri, baik antar keluarga maupun antar saudara sendiri. Terjadinya perselisihan dan permusuhan antar kerabat itu, bias saja disebabkan oleh hal-hal sepele atau mungkin hal-hal yang sudah umum dan tidak mungkin diselesaikan secara kekeluargaan. Salah satu contoh yang sering terjadi pada masyarakat kita sekarang adalah perebutan harta kekayaan atau warisan. Pada fenomena ini, sering terjadi permusuhan karena ada salah satu pihak yang merasa dirugikan. Adapun nilai sosial yang dapat kita ambik dari ungkapan itu adalah hendaknya setiap persoalan yang menyangkut keluarga, diselesaikan secara kekeluargaan, salinbg memahami, danmenghargai orang laibn sebagai satu ikatan kekeluargaan. Hadapi semua masalah dengan kepala dingin, selesaikan semua masalah dengan musyawarah, dan mau menerima dengan situasi keadaan yang bagaimanapun.

(23) “Panas-panas Tahi Ayam”
Orang yang digambarkan dengan ungkapan di atas adalah orang yang dalam pergaulan, tidak berlaku konsekuen. Ketidakkonsekuenannya itu terjadi justru pada saat-saat yang sangat penting. Misalnya, ketika ia melamat seorang gadis (meminang), dia samgat ulet dan berusaha mendapatkan gadis impiannya itu. Segala cara ia lakukan, janji-janji ia taburkan namun setelah orang tua sigadis setuju dan menerima pinangannya tersebut, ia justru mundur dan membatalkan niatnya tersebut, tanpa mengemukakan alasan-alasan yang masuk di akal. Adapun nilai sosial yang dapat kita teladani dari ungkapan tersebut adalah hendaknya kita tidak mengumbar janji untuk hal-hal yang belum tentu dapat kita laksanakan.

(24) “Anjur Atar”
Ungkapan Anjur Atar, sangat tepat ditujukan kepada orang yang senang menga du domba orang lain. Setiap pembicaraan yang ia dengar (pembicaraan jelek), akan dia sampaikan kepada orang yang dijelek-jelekan tersebut bahkan ditambah-tambah dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Begitu pula sebaliknya, dia akan berusaha memanas-manasi pihak lain sehingga akan terjadi perselisihan ataupun permusuhan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Pada masyarakat Banjar, orang seperti itu sangat tidak disukai karena sangat merugikan orang lain, misalnya dapat memecah belah persatuan yang sudah kuat, merenggangkan hubungan antar keluarga, dan bias mengacaukan sebuah rencana atau aktivitas positif lainnya. Sedangkan nilai sosial yang dapat kita ambil dari istilah itu adalah janganlah kita suka mengadu domba orang lain, jangan mengeluarkan kata-kata yang dapat memancing kemarahan orang lain, dan hendaknya menjadi penengah atau pelurus pada setiap perselisihan.
(25) “Inya Cakapan Banar”
Seseorang yang selalu mengerti (paham) dengan segala pekerjaan yang disodorkan kepadanya danmampu menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik, maka dia disebut “cakap”. Dalam bahasa Banjar, berarti pemahaman. Orang seperti ini, cendrung disukai

C. Ungkapan Tradisional Daerah Banjar yang Mengandung Nilai Pendidikan

(26) “Kurang Akalan”
Ungkapan di atas, sering ditujukan kepada seorang anak kecil yang belum bias membedakan mana yangh baik dan mana yang buruk. Terkadang semua tindakannya itu, hanya berdasarkan keinginan atau nafsu semata. Dalam tindakan itupun, nampak sekali bahwa dia belum mengerti manfaat ataupun resiko yang dihadapi. Orang seperti ini, cendrung mempunyai sifat yang keras dan sangat kecewaz jika tindak-tanduknya ditegur oleh orang lain. Adapun nilai pendidikan yang terdapat pada ungkapan tersebut adalah hendaknya setiap orang tua betul-betul memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Bimbinglah mereka dengan penuh kasih saying tetapi bukan denganhal-hal yang berlebihan atau terlalu dimanja. Dengan pendidikan yang baik itu, diharapkan kecerdasan anak akan semakin bertambah dan ia bias menyesuaikan setiap tindakan dengan manfaat serta akibat yang didapat.

(27) “Tatukar Kucing dalam Karung”
Dalam setiap tindakannya, manusia haruslah hati-hati. Jangan memutuskan sesuatu yang belum dipikirkan untung ruginya. Jangan melakukan tindakan sebelum dipertimbangkan baik-buruknya. Ungkapan “Tatukat Kucing dalam karung” mencerminkan seseorang yang tidak hati-hati dalam bertindak dan dalam memutuskan sesuatu. Akibat dari tindakannya itu, justru penyesalan yang akan didapat bukan keba-hagiaan. Jadi, sepantasnyalah kita berhati-hati dalam setiap tindakan. Pikirkan untung ruginya dan persiapkan segala sesuatunya.

(28) “Kada Mamak Dijarang”
Ungkapan yang hampir sama denganistilah di atas adalah “Pambabal”. Kedua ungkapan tersebut, mempunyai makna yang sama yaitu menggambarkan seseorang yang sangat sulit diatur. Bedanya terletak pada siapa objeknya. Kalau pambabal, ditujukan kepada anak kecil dan mamak dijarang ditujukan kepada selain anak kecil. Sedangkan nilai pendidikan yang dapat kita ambil pada ungkapan di atas adalah bahwa kita selaku makhluk sosial, harus selalu memperhatikan pendidikan demi kelangsungan hidup. Hal itu beralasan, mengingat pendidikan merupakan kebutuhan paling utama dan agar kita tidak pernah merasa ditipu orang lain.

(29) “Patuh Mambarakat”
Ungkapan yang sama dengan istilah di atas adalah “Suka Mambawa Pulang”. Orang suka mambarakat, dalam masyarakat Banjar sangatlah tidak terpuji. Contoh pada sebuah acara syukuran (aruhan), orang yang sukja mambarakat akan berusaha membawa makanan yang disediakan sebanyak-banyaknya. Dia tidak peduli dengan orang lain. Dia juga tidak peduli, apakah akan diizinkan atau tidak oleh sipemilik makanan tersebut. Pokoknya dia bias menikmati makanan itu dengabn sepuas-puasnya. Adapun nilai pendidikan yang dapat kita ambil dari uraian di atas adalah supaya kita jangan mempunyai sifat-sifat seperti yang dicontohkan di atas, karena di samping sangat merugikan bagi orang lain, bagi dirinyapun akan demikian. Orang-orang yang senang bersifat demikian cendrung tidak tahu dimalu dan selalu berbuat sekehendak hatinya. Jadi jelas, bahwa kita harus menghormati orang lain, menghormati hak orang lain, dan tidak semena-mena.

(30) “Baaci Banar”
Ungkapan di atas, menggambarkan seseorang yang selalu ingin rapi, bersih dan indah. Orang seperti ini cendrung hati-hati dalam setiap pekerjaannya. Ia tidak ingin kesalahan sedikitpun. Apa yang ia kerjakan, harus berhasil dengan memuaskan. Adapun nilai pendidikan yang dapat kita teladani pada ungkapan di atas adalah hendaknya kita bersikap hati-hati dalam setiap pekerjaan, agar memperoleh hasil yang memuaskan. Dengan demikian, kita akan senang dan orang yang menikmatinyapun akan senang. Jadi, kerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh dan tidak tergesa-gesa.

(31) “Umpal Banar di Iwak”
Seorang anak yang terlalu banyak makan ikan, diistilahkan dengan ungkapan “Umpal” atau gancang. Orang tua mengharapkan agar si anak tidak hanya makan ikan tetapi juga harus seimbang sayur dan nasi tentunya. Dalam Bahasa Indonesia, istilah umpal sama dengan boros, yaitu sifat yang menghambur-hamburkan. Dia sangat senang menghabiskan uang, hanya untuk memuaskan nafsunya tanpa memikirkan hal-hal lain yang tentunya lebih utama dan pebih penting. Dia tidak memperhitungkan keperluan dan kebutuhan selanjutnya, yang penting pada saat itu dia puas dan merasa senang. Sedangkan nilai pendidikan yang dapat kita ambil ungkapan itu adalah bahwasanaya kita harus bersifat hemat dan jangan menghabiskan uang (harta lainnya), melebihi batas. Gunakanlah seperlunya, karena pepatah mengatakan “Hemat Pangkal Kaya dan Boros Pangkal Miskin”.

(32) “Purici”
Dalam masyarakat Banjar, orang yang diistilahkan dengan “purici” berarti seseorang yang mempunyai sifat atau berlaku tidak bersih. Orang seperti ini cendrung tidak mencintai kerapian dankeindahan. Dalam setiap pekerjaannya, selalu sembarangan dan tidak sabaran. Kebiasaannya yang jelek itu, sangat sulit untuk dirubah bahkan ironisnya, sangat merugikan bagi orang lain. Dia tidak perduli dengan penilaian atau tanggapan orang lain tentang kebiasaannya itu. Adapun nilai pendidikan yang dapat kita ambil dari ungkapan di atas adalah hendaknya kita berlaku bersih. Kebersihan itu kita budayakan pada setiap aktivitas dan kesempatan. Selain bernilai pendidikan, ungkapan “Purici” juga mengandung nilai religius sesuai dengan hadis Rasulullah “Kebersihan Sebagian dari Iman”.

(33) “Mangalilu”
Istilah mangalilu, sering ditujukan kepada seseorang yang usianya sudah tua. Mangalilu berarti suatu sifat yang sering lupa atau sangat sulit untuk mengingat sesuatu yang terjadi baik yang baru maupun yang lama. Dalam masyarakat Banjar, orang mangalilu bias juga disebut mengaradau. Arti kedua ungkapan itu lebih ditekankan pada ucapan, yaitu ucapan yang selalu keliru. Sedangkan nilai pendidikan yang dapat kita teladani dari ungkapan di atas adalah bahwa kita harus banyak belajar, selalu mengasah otak dengab membaca, dan tentunya banyak mengulang pelajaran agar ilmu pengetahuan yang didapay tidak hilang begitu saja. Berilmu pengetahuan karena membaca, mengerti karena dihayati, dan lancar kaji karena diulang. Banyak membaca berarti menambah ilmu pengetahuan dan banyak mengulang berarti mempertajam ingat-an sesuai peribahasa Inggris “No Old to Learn” yang artinya tiada kata tua untuk belajar.

(34) “Kada karuan Burit Kapala”
Dalam ajaranIslam, kita memang dianjurkan selalu giat bekerja. Giat dalam arti memahami dan memikirkan akibat dari pekerjaan itu sendiri. Artinya, walaupun kita bekerja dengan penuh semangat danhampir tidak mengenal waktu kita harus tetap memikirkan kemampuan yang kita miliki dan memperhitungkan untung ruginya (jangan asal kerja). Adapun nilai pendidikan yang dapat kita ambil dari ungkapan tersebut adalah bahwa kita dituntut untuk giat bekerja guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi kita pun harus ingat bahwa bekerja bukan berarti memporsir tenaga atau menghabiskan waktu yang tersedia melainkan harus disesuaikan dengan kemampuan (tenaga) yang kita miliki. Kita juga harus memikirkan hal-hal lain seperti istirahat, makan, minum, rekreasi, dan sebagainya.

(35) “Bagawi Maramu-ramu”
Ungkapan di atas, hampir senada dengan ungkapan “Kada Karuan Burit Kapala”, yaitu sama-sama giat dalam bekerja dan mengandalkan semangat tanpa mengenal lelah. Walau demikian, kedua istilah atau ungkapan itu mempunyai sedikit perbedaan. Kalau ungkapan “Kada Karuan Burit Kapala” mengarah kepada pertimbangan akan tenaga dan waktu yang tersedia. Sedangkan “Bagawi Maramu-ramu” lebih mengarah kepada banyak jenis pekerjaan yang dilakoni. Seseorang dilukiskan dengan ungkapan di atas adalah seseorang yang selalu mengambil setiap pekerjaan atau serakah, tanpa mempertimbangkan sanggup atau tidaknya dia menyelesaikan pekerjaan itu. Orang seperti cendrung bersifat egois. Selain dia ingin memperlihatkan kemampuan yang dia miliki, dia juga ingin memperoleh hasil yang lebih. Adapun nilai pendidikan yang dapat kita teladani dari ungkapan di atas adalah

D. Ungkapan Tradisional Daerah Banjar yang Mengandung Nilai Moral

(36) “Liur Baungan ”
Sangat tepat, jika seseorang (orang tua) yang menyenangi daum muda diistilahkan dengan sebutan “Liur Baungan”. Orang seperti ini, cendrung tidak memiliki rasa malu dan selalu mementingkan diri sendiri. Dia sudah berkeluarga dan punya anak, masih saja menganggu perempuan lain. Usianya yang kebanyakan sudah tua, tidak membuat sadar dan koreksi terhadap diri sendiri. Perilaku yang menyimpang itu, menunjukkan betapa bejatnya moral seseorang. Adapun nilai etika atau moral yang dapat kita ambil dari ungkapan di atas adalah hendaknya berlaku wajar dalam kehidupan sehari-hari. Mencintai anak dan istri dengan penuh kasih saying. Tidak tergoda dengan gemerlapnya dunia. Dunia dan segala sisinya adalah fana, ia hanya bersifat sementara. Oleh sebab itu, berlaku dengan baik, koreksi diri, dan berbuatlah sesuatu yang lebih baik, guna kehidupan yang lebih abadi kelak.

(37) “Mambuu”
Ungkapan di atas, mencerminkan seseorang yang berlagak bodoh. Orang seperti ini, mempunyai sifat “malas”. Orang yang digambarkan dengan istilah di atas, cendrung tidakmau membantu orang lain. Dia hanya membantu orang, jika pekerjaannya itu dapat menguntungkan baginya atau membawa keberuntungan bagi diri pribadinya. Sebalik- nya, jika pekerjaan itu tidak menghasilkan apa-apa bagi dirinya maka dia akan menolak dan berdalih bahwa dia tidak bias mengerjakannya. Nilai moral yang dapat diambil dari ungkapan di atas adalah hendaknya ketika kita membantu orang lain, tidak memandang ada atau tidaknya keuntungan yang diperoleh. Bantu dan tolonglah orang lain dengan penuh keikhlasan dan rasa persaudaraan. Sehingga pada suatu saat nanti, kita pun akan memperoleh perlakuan yang sama.

(38) “Kada Igul-igul”
Ungkapan di atas, berhubungan erat dengan ungkapan “Ambak-ambak Bakut” dan “Manuliakan”. Ungkapan-ungkapan itu, mengandung pengertian yang pada dasarnya adalah sama. Khusus ungkapan “Kada Igul-igul”, menggambarkan seseorang yang tidak menghiraukan panggilan atau sapaan orang lain, bahkan dapat pula diartikan tidak mau mendengarkan nasihat orang lain. Orang seperti ini, terkadang bersifat acuh dan bersifat sombong bahkan (angkuh). Dia merasa tidak memerlukan teguran dan nasihat dari orang lain. Adapun nilai moral yang terdapat pada ungkapan ini adalah bahwasanya kita wajib menghormati orang lain. Menerima saran dan kritikan dari orang lain, dan tentunya tidak merasa diri paling hebat, serta menghargai orang lain sebagai wujud nyata dari perkembangan perilaku (moral) dalam kehidupan sehari-hari.

(39) “Bamuha Kayu”
Bamuha Kayu, berarti tidak tahu malu. Seseorang yang dilukiskan dengan ungkapan-ungkapan di atas, adalah seseorang yang mempunyai kepercayaan diri terlalu tinggi dan sangat berlebihan. Dengan konfiden yang berlebihan tersebut, justru membuat dirinya lupa dan tidak perduli dengan hal-hal di sekitarnya. Terkadang ia ber-tindak dan berlaku tidak senonoh atau tidak semestinya bahkan cendrung merugikan orang lain. Adapun nilai moral pada ungkapan di atas adalah hendaknya kita memiliki rasa malu terhadap orang lain. Malu karena ucapan kita yang tidak bertata. Malu karena perilaku yang tidak beretika. Malu karena sifat dan sikap kita yang angkuh, dan malu karena tindak-tanduk kita merugikan orang lain.

(40) “Carobo”
Istilah carobo, sering ditujukan kepada seseorang anak kecil yang dianggap tidak baik dalam bertutur kata. Setiap ucapan, dianggap tidak layak dan tidak semestinya dikeluarkan. Seseorang yang dilukiskan dengan istilah di atas, mayoritas mereka yang memang tidak berpendidikan, artinya kurang perhatian dari orang tua. Ucapannya yang tidak bertata itu, sering menimbulkan rasa jengkel dan marah setiap orang yang mendengarnya. Namun terkadang si anak yang berucap pun, tidak mengetahui maksud dari apa yang ia ucapkan. Ia hanya bias mengucapkan, tanpa tahu dengan persis arti atau makna yang ia ucapkan tersebut. Setiap kata-kata yang ia ucapkan (jijik), merupakan kata-kata yang tidak ia pelajari, melainkan sesuatu yang sering didengar dari orang dewasa. Sehingga dia dapat menirukan kata-kata tersebut. Adapun nilai moral yang dapat kita teladani dari ungkapan itu adalah agar kita menjaga mulut (setiap ucapan). Jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang jorok (jijik). Di lain pihak, kita pun harus mengajarkan ucapanyang baik-baik kepada anak-anak kita.

(41) “Kada Sanonoh”
Ungkapan di atas, hampir sama dengan ungkapan “Carobo”. Bedanya, kalau carobo ditujukan kepada anak kecil danisi dari ucapan itu, tentang nilai rasa atau pantas tidak diucapkan oleh seorang anak kecil. Sedangkan ungkapan “Kada Sanonoh”, lebih ditekankan kepada orang yang sudah tua (dewasa) dan dari ucapannya itu, mengarah kepada perasaan hati seseorang (ada atau tidak seseorang yang merasa tersinggung). Ungkapan “Kada Senonoh”, mencerminkan seseorang yang setiap ucapannya mengandung maksud tertentu. Maksud tertentu itu misalnya ingin mengunjing orang, menyindir orang, atau pun memfitnah orang.

(42) “Mucil Banar”
Istilah mucil sana dengan usil, yaitu sifat tidak terpuji yang selalu ingin tahu tentang urusan orang lain. Hatinya tidak akan enak dan tidak akan tenang, jika belum mengetahui masalah yang dihadapi orang lain. Dia akan berusaha dengansegala cara agar terlibat dalam suatu masalah, tetapi bukan untuk membantu memecahkan masalah tersebut. Keterlibatan dan rasa ingin tahunya tersebut, hanya atas dasar sifatnya yang usil, bahkan cendrung ingin memanas-manasi suasana. Misalnya ada dua belah pihak yang sedang bertikai atau berselisih paham, si Mucil akan berusaha agar kedua belah pihak yang berselisih semakin panas dan tanpa berniat untuk menyelesaikan konflik di antara keduanya. Adapun nilai moral yang dapat kita contoh pada ungkapan di atas adalah hendaknya kita jangan usil terhadap urusan orang lain. Bantulah orang lain untuk menyelesaikan masalah kalau memang diperlukan danjanganlah membuat situasi yang panas semakin panas.

(43) “Buruk Sikuan”
Jika ada orang yang mengambil kembali atau memakan apa yang telah ia berikan kepada orang lain, maka sangat tepat diistilahkan dengan “Buruk Sikuan”. Orang seperti ini, biasanya merasa menyesal dengan apa yang telah ia berikan kepada orang lain. Ia merasa tidak puas dengan perbuatannya itu, maka tidak heran jika ia bermaksud mengambil kembali pemberiannya itu, walaupun dengan cara yang agak halus. Nilai moral yang terdapat pada ungkapan tersebut adalah hendaknya kita tidak menyesali dengan apa yang telah kita lakukan (memberi) sesuatu kepada orang lain. Bantu dan tolonglah orang lain dengan rasa ikhlas dan tidak mengharapkan apa-apa. Jangan lagi mempersoalkan sesuatu yang bukan milik kita. Jangan lagi mengungkit-ungkit sesuatu yang telah kita hibahkan kepada orang lain danberpikirlah ke depan demi kebaikan bersama.

(44) “Tangga Urang Diulur, Tangga Saurang Ditarik”
Salah satu sifat dan sikap yang sangat tidak terpuji adalah mengambil hak orang lain dan mengamankan hak (kepunyaan) diri sendiri. Dia tidak mau kalau hartanya diminta oleh orang lain, sementara dia sangat bernafsu dan senang terhadap hak milik orang lain. Berbagai alas an ia lontarkan agar hartanya itu tidak dimiliki dan diminta oleh orang lain. Dia sangat takut kalau hartanya berkurang. Adapun nilai moral pada ungkapan di atas adalah jangan hanya meminta atau mengambil kepunyaan orang lain, tetapi hak milik kita pun harus disumbangkamn dan disisihkan untuk keperluan orang lain atau orang banyak. Kita jangan hanya berharap kepada orang lain, tetapi diri sendiri pun harus membantu.

(45) “Parajuan”
Istilah di atas, sering kita tujukan kepada anak kecil yang keras kepala dan hanya mengikuti kata hatinya. Orang seperti ini cendrung bersikap menutup diri. Dia sangat kecewa jika keinginan atau usaha yang ia lakukan tidak mendapatkan hasil apa-apa alias gagal. Orang seperti ini juga lekas putus asa bahkan tidakmau lagi berusaha, karena dia menganggap semua jalan telah buntu. Contoh lain dari sifat ini adalah seorang anak yang merasa kecewa, karena keinginannya tidak dikabulkan oleh orang tuanya, sehing-ga dia berdiam diri dan bahkan bias melakukan hal-hal yang sangat menakutkan dan di luar kemampuannya.

(46) “Paneneng”
Ungkapan di atas, merupakan ungkapan yang sangat lama yang digunakan oleh masyarakat Banjar. Ungkapan tersebut, menggambarkan seseorang yang tahu balas budi. Dia selalu diberi kebaikan oleh orang lain. Ia juga sering dibantu dan ditolong orang. Situasi dankondisi demikian, justru membuat dia merasa diperhatikan dan terkadang meminta hal-hal yang berlebihan. Sifat buruk dari orang ini adalah ketika dia diberi nasihat atau ditegur atas kesalahannya, dia sama sekali tidak menghiraukan dan tidak menggubris nasihat-nasihat tersebut apabila kalau diminta bantuannya. Adapun nilai moral yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah hendaknya kita saling membantu, saling menasihati, dan mau menerima nasihat orang lain, demi kebaikan bersama.

(47) “Kakijilan”
Istilah “Kakijilan”, diambil dari kata dasarnya yaitu kijil yang artinya perbuatan yang sering mengganggu orang lain. Ungkapan di atas, sering ditujukan kepada seorang gadis yang mempunyai sifat-sifat aneh. Ia sering menggoda laki-laki, ia juga berdandan secara berlebihan. Terkadang perbuatan itu dilakukannya karena usianya yang sudah de-wasa dan mungkin melihat perilaku orang-orang yang berbuat hal demikian. Adapun laki-laki, juga bias melakukan hal itu, tetapi hanya atas dasar iseng atau bermain-main. Sedangkan nilai moral yang dapat kita ambil dari ungkapan itu adalah bahwa kita tidak boleh menggoda atau merayu orang lain dengan maksud yang tidak baik. Apalagi seseorang yang merayu atau pun yang dirayu, sudah berkeluarga.

(48) “Ambungan”
Seseorang yang senang dipuji, biasanya selalu menampakkan hasil pekerjaannya. Dia selalu berusaha agar orang lain melihat atau menyaksikan aktivitasnya. Orang seperti ini akan sangat sedih, jika orang lain dapat bekerja atau hasil lebih bagus. Adapun nilai moral yang dapat kita teladani dari ungkapan di atas adalah sebagai manusia tidak boleh gila hormat. Jangan terlalu menampakkan pekerjaan yang kita lakukan dan bersikaplah dengan wajar agar apa yang kita lakukan dapat berhasil dengan baik dan tidak menimbulkan efek yang negatif terhadap orang lain.

(49) “Inya Marajalela”
Ungkapan di atas, menggambarkan seseorang yang merasa paling hebat atau paling perkasa di antara yang lainnya. Orang seperti ini, cendrung berlaku kasar terhadap orang karena dia menganggap tidak ada orang lain yang berani dengannya. Segala ucapannya harus dituruti dan segala perilakunya harus disetujui. Adapun nilai moral yang dapat kita ambil dari ungkapan itu adalah hendaknya kita jangan memaksakan kehendak kepada orang lain. Jangan merasa paling hebat, jangar merasa paling perkasa. Ingat, di atas langit ada langit, di atas yang baik masih ada yang terbaik.

(50) “Mawiwir Anggit Urang”
Ungkapan yang senada dengan ungkapan di atas adalah “Mangakat Anggit Urang”. Istilah itu, mencerminkan seseorang yang selalu mengaku dan mengambil kepunyaan orang lain yang bukan hak miliknya. Dengan segala daya dan upaya dia lakukan untuk mengambil hak orang lain. Dia tidak perduli dengan pandangan orang, dia tidak ambil pusing dengan kesusahan orang, dan dia pun tidak mau tahu dengan akibat dan resiko yang menghadang. Sedangkan nilai moral yang terkandung pada ungkapan itu adalah senantiasa kita mengakui hak orang lain, tidak berbuat semena-mena, dan tentunya hidup rukun bersama masyarakat.

(51) “Anjur Atar”
Selain mengandung nilai sosial, ungkapan “Anjur Atar”, juga mengandung nilai moral. Nilai moral itu, dapat kita lihat dari segi perilakunya yang selalu membuat suasana semakin panas. Orang seperti ini, sangat dihindari dan dibenci orang. Sifatr dan sikapnya yang keji itu membuat ia jauh dari kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, kita harus menjadi orang yang netral dalam arti ikut memecahkan suatu masalah yang dihadapi, bukansemakin menjadi-jadi dan mengadu domba orang lain.

14 thoughts on “Ungkapan Urang Banjar

  1. urang rajin tak handak badiam pantanglah meski sulit tapi yaqin,nih ana lg memulai dari alif n minta dihormati urang maka nang tu dimana bapijak langit dijunjung. Mw skripsi about ungkapan Banjar in daily conversation, tp seldom banget digunakan urang Banjar di sini,Makassar

  2. Ping-balik: Baiti Jannati, Kebahagian Keluarga karena Keberkahan – forum baiti jannati

Tinggalkan Balasan ke rahma Batalkan balasan