Keraton Banjar, Siapa yang Pantas Bertahta?


Keraton Banjar, Siapa yang Pantas Bertahta?
Ditulis Oleh: Muhammad Alpiannor
FB: alpi_pang@yahoo.com

Makam Sultan Suriansyah, Kuin-Banjarmasin

24 September 1526 tonggak awal berdirinya Kerajaan Banjar dengan Pangeran Samudera yang seiring keislamannya kemudian bergelar Sultan Suriansyah sebagai raja pertamanya, tanggal ini pulalah kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Banjarmasin.

Hampir 5 Abad peristiwa itu berlalu, bahkan Banjar sebagai sebuah kerajaan telah mampu bertahan sebagai ‘negara’ dengan diperintah silih berganti sultan hingga bertahan lebih dari 3 abad lamanya (1526-1860), runtuh seiring dengan semakin dalamnya cengkeraman penjajah Belanda yang berhasil masuk dari berbagai aspek baik itu perdagangan, kekuatan militer, sampai pada manipulasi-manipulasi adu dombanya dengan memanfaaatkan friksi internal kerajaan banjar saat itu.

Sebagaimana di maklumi, sejarah mencatat salah satu kelemahan dari system monarkhi/dynasty adalah terjadinya konflik internal dalam perebutan kekuasaan antar elit istana sehingga kemudian membuat kerapuhan dalam system pemerintahan sekaligus juga memudahkan pihak ketiga untuk masuk mengambil kesempatan dari konflik horizontal ini.

Rekontruksi Keraton Banjar

Wacana Pembangunan replika Keraton Banjar yang akhir-akhir ini digaungkan kiranya patutlah untuk kita apresiasi di tengah masih dangkalnya pengetahuan kita sebagai Urang banjar mengenai sejarah lokal di Kalimantan Selatan. Bahwa pada masa lalu di abad 16 pernah ada kerajaan di Tanah Banjar. Terlalu jauh untuk kita kemudian skeptis terhadap wacana ini apabila kita menganggap bahwa ada upaya untuk menghidupkan kembali trah bangsawan bahkan mungkin dengan kemunculannya akan melegitimasi kekuatan politik baru di Tanah Banjar dengan segala fasilitas dan kewenangan yang berlebih tentunya. Namun kita harapkan apabila hal ini dapat terealisasi mudah-mudahan mampu memunculkan identitas kebanjaran kita pada konteks kekinian sekaligus juga mencoba menggali lagi kekayaan-kekayaan Banjar pada ranah cultural (jauh dari kesan cauvinisme). Adapun mengenai rencana letak dari pembangunan replikanya yang akan di bangun di wilayah Martapura, hal ini kiranya tidaklah perlu menjadi perdebatan karena dalam sejarahnya kerajaan banjar pernah menempati sedikitnya 3 tempat keraton (Kuin, Tatas, dan Kayutangi Martapura).
Realisasi akan rekontruksi secara fisik Keraton Banjar tentunya tidaklah sulit diwujudkan, secara sederhana dengan kemampuan dan kemauan para stake holder untuk mengucurkan anggaran untuk pembangunannya, ditambah kesediaan para ahli waris pemegang artifact sebagai wujud budaya untuk dijadikan sebagai koleksi keraton, maka akan serasa lengkaplah apa yang menjadi tujuan dari berdirinya keraton tersebut sehingga diharapkan minat akan keingintahuan tentang sejarah Banjar dapat terfasilitasi yang tentunya akan menjadi icon baru untuk studi wisata sejarah Banjar buat generasi Muda. Pertanyaannya sekarang, apakah hanya pembangunan fisik yang dikedepankan? Atau ada agenda lain yang mengikutinya? Misalnya dengan kemudian mencari ahli waris keturunan Sultan Banjar untuk diangkat menjadi sultan di keraton yang baru sehingga lengkaplah sudah rekontruksi Kerajaan Banjar dalam konteks kekinian. Namun ketika wacana ini di munculkan, dokumen dan fakta sejarah serta mekanisme dalam trah dinastilah yang harus di kedepankan.

Usurpasi dalam Kerajaan Banjar

Usurpasi secara sederhana bisa kita fahami sebagai upaya pengambilan hak yang bukan menjadi haknya dalam hal ini adalah tahta. Sebagaimana sejarah kerajaan pada umumnya di Indonesia, kerajaan banjar juga pernah mengalami friksi antar keluarga raja bahkan sedikitnya ada tiga kali usurpasi terjadi dalam sejarah perjalan eksistensi kerajaan banjar.

Pertama kali kemunculannya pada abad 16, terbentuknya Kerajaan Banjar juga merupakan efek domino dari sebuah usurpasi, ketika Pangeran Samudera sang penerus tahta Kerajaan Daha di usurpasi oleh sang Paman Pangeran Tumenggung, sehingga Pangeran Samudera menjadi putera mahkota yang terbuang. Kemudian secara singkat diceritakan Pangeran Samudera mampu menggalang kekuatan di dukung oleh para patih (Masih, Balitung, Kuwin, etc) yang masih memegang teguh aturan pewarisan tahta, ditambah masuknya pihak ketiga sebagai sekutu (Kerajaan Demak) dengan kompensasi Islamnya, bersinergilah mereka melawan sang usurpator (Pangeran Tumenggung) untuk lengser dari tahta yang bukan haknya, meskipun kemudian pusat kerajaan digeser ke Kuin dengan nama baru dan agama baru (Islam), yaitu kerajaan Banjar.

Usurpasi ke dua terjadi pada abad ke 18 ketika Sultan Hamidullah Sultan Kuning (tutus tuha) sang raja saat itu meninggal dunia. Dia meninggalkan putra mahkota yang masih belum baligh (Muhammad Aminullah), untuk sementara kekuasaan diserahkan pada adiknya mangkubumi Sultan Tamjidillah I (tutus anum), yang kemudian ketika Aminullah dewasa terjadi friksi karena Tamjidillah I tidak menyerahkan kekuasaannya pada keponakannya yang berhak, namun kemudian malah mengangkat anaknya Nata sebagai penerus tahta. Unsurpasi ini berhasil di masuki pihak ketiga, yaitu Belanda yang datang sebagai ‘juru damai’ yang mana salah satu perannya adalah membagi kekuasaan Kerajaan Banjar dalam 2 keraton, Kayutangi Martapura dan Tatas- Banjarmasin untuk Aminullah. Usaha-usaha memecah belah ini kemudian lambat laun menjadi akut yang puncaknya dihapusnya Kerajaan Banjar.

Usurpasi yang ketiga pada pertengahan abad 19 ketika Sultan Adam mewasiatkan untuk Hidayatullah sebagai raja, namun dengan intervensinya yang terlalu dalam, Belanda menunjuk Tamjidillah II sebagai sultan yang mana ini melanggar wasiat raja terdahulu sekaligus menantang kehendak rakyat yang saat itu notabene menginginkan Hidayatullah daripada Tamjidillah II. Konflik ini bukan lagi antar dinasti (tutus tuha vs tutus anum) namun internal dinasti muda (tutus anum).

Siapakah yang Layak Bertahta?

Paparan singkat di atas, dapat dipahami telah terbentuk 2 trah dalam keturunan Sultan Suriansyah, yaitu Dinasti Tua/tutus tuha keturunana Sultan Hamidullah (Sultan Kuning) dan Dinasti Muda/tutus Anum keturunan Sultan Tamjidillah I. Secara de yure apabila berdasar pada aturan dinasti pada umumnya, maka keturunan Hamidullah lah yang meneruskan tongkat estafet raja banjar karena mereka Dinasti tua, namun secara defacto yang kemudian memegang kendali Kerajaan Banjar adalah dinasti muda, yaitu Keturunan Tamjidillah I (Nata-Sulaiman-Adam-Abdulrachman-Hidayatullah/Tamjidillah II).

Namun pada awal berkobarnya Perang Banjar (1859) nampaknya persaingan 2 trah dinasti ini telah mereka kesampingkan untuk bersama-sama menentang penjajah Belanda yang sudah mulai mencampuri lebih jauh internal kerajaan banjar. Momen perlawanan ini kemudian memunculkan kembali trah tutus tuha yang sudah lama ‘menghilang’ yaitu Pangeran Antasari (Buyut Aminullah). Kemunculannya bukan untuk menambah masalah dengan ingin bertahta, tetapi jiwa besarnya lebih membela Hidayatullah daripada Tamjidillah, sebagai wujud nyata menentang Belanda. Untuk selanjutnya keturunan Antasari (Dinasti Tua) terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai meluas wilayah perang hingga hulu Barito dengan melibatkan koleganya yang mana setelah Antasari, perlawanan dilanjutkan oleh anaknya Gusti Muhammad Said dan Muhammad Seman sampai keturunan selanjutnya, yaitu Gusti Berakit (1906) meskipun Kerajaan Banjar sudah dihapuskan Belanda pada tahun 1860. Sehingga perlawanan yang berkepanjangan ini (1859-1906) terhadap belanda ini merupakan perlawanan terpanjang dalam sejarah perlawanan di Indonesia (lihat Helius Syamsudin, Pegustian dan Tumenggung).

Akhirnya Tanpa mengesampingkan fakta sejarah terhadap apa yang sudah terjadi dalam struktur istana raja banjar dan dengan referensi yang bisa digali dari berbagai sumber mengenai kemunculan, kejayaan, intrik, sampai keruntuhan Kerajaan Banjar, bisa didapat garis keturunan yang pantas secara De facto dan De yure untuk menduduki tahta di Keraton Banjar yang baru pada ranah cultural. Semoga.

13 thoughts on “Keraton Banjar, Siapa yang Pantas Bertahta?

  1. unda spendpt klo memang ada wacana pembuatan replika Kerajaan Banjar dgn sgl pernak perniknya. agr genarasi muda lbh tahu bgmna sejarah daerahnya sendiri. serta bisa menjadi objek wisata yg tentunya menambah pndapatan daerah.
    namun bila di munculkan wacana baru “siapa yg pantas bertahta?” ini bisa membuat konflik baru dr tutus2 kerajaan. jd kalau pmerintah srta msyarakat mnghendaki membuat replika kerajaan, itu hanya sbg khasanah budaya dan sejarah.. jgn lebih dr itu..
    mf, ini hanya pendapat yg sngt relatif

    • Oke, makasih masukannya.

      Mungkin semacam Jogja, yang masih punya sistem kerajaan sbg simbol kesultanan. Walaupun ada seorang gubernur sbg Kepala Pemerintahan. Bisa juga merujuk kepada Kutai Kertanegara.

      • @adum: jogja lah yang jadi masalah, sekarang sudah ada wacana memperpanjang jabatan sultan sebagai gubernur, bahkan sudah di suarakan ke DPRD, bukankah itu inkonstitusional? undang2 yang di pakai di negara ini mengamanatkan seorang kepala daerah hanya boleh menduduki jabatannya maksimal 2 periode berturut2, karena kita bukan negara monarkhi

    • itulah yang kita khawatirkan apabila ada ‘agenda lain ‘ dari pembangunan ini, aklamasi kita akan sangat mendukung wacana replika tersebut tapi, sekali lagi dalam ranah kultural sehingga apabila di paksakan mencari sultan maka semua harus fair dengan sistem monarkhi, karena sepertinya ada arah kesana, sudah saat nya mereka yang berdarah bangsawan banjar melihat kembali tutus mereka sehingga jatidiri kebangsawanan mereka dapat jelas di pertanggungjawabkan dari silsilah mana mereka berasal

  2. @pambakal: justru jogja sekarang sudah mulai mengkhawatirkan, bukankah sudah ada upaya menarik ranah cultural keranah politis, ketika ada suara yg di sampaikan melalui DPR nya untuk menjadikan sultan sebagai gubernur seterusnya? bukankan ini bertentangan dengan konstitusi yang mengamanatkan agubernur hanya boleh memerintah 2×5 tahun maksimal,karena kita bukan negara monarkhi. alangkah elok kalo sultan memposisikan diri sebagai ‘ayatollah’ yang menjadi rujukan warganya ketika pemerintah tidak mampu memberikan pencerahan akan kegundahan rakyatnya seperti halnya ayatollah khomaini ketika menggulingkan rezim iran saat itu , bukan dia yang kemudian menggantikannya memimpin iran tapi kembali sebagai ayatollah yang tidak terikat oleh kepentingan haluan politik manapun

    • Jadi kira2 maksud ikam itu adanya dualism kepemimpinan dalam satu daerah. Artinya gubernur sbg simbol (baca: pemimpin) politis sebuah pemerintahan, sedangkan Sultan sbg simbol kultural. Gubernur ikut aturan negara dlm pemilihannya, sedangkan sultan tetap mengikuti garis bangsawan (aturan kerajaan). Bolehlah kita tengok Kaltim-tenggarong (Kutai Kertanegara) dlm penyelenggaraan pemerintahannya. Adat-Budaya dibawahi oleh kerajaan dlm penyelengaraan. Artinya ranah kultural dibawah kekuasaan sultan. Begitu kah kira2 utk menghindari caus antar aturan negara demokrasi dg sistem monarki.

  3. yap, yang jadi masalah adalah ketika itu rancu dimana ‘kebetulan raja sekaligus gubernur’ mungkin saja ybs memahami dan bisa memilah 2 ranah ini, namun ternyata yang bermasalah masih ada saja konstituen yang ‘ragap papan’ dan msih belum mampu memisahkannya, karena masih memegang teguh konsep micro cosmos yang mana raja merupakan perwakilan tuhan di dunia sehingga mereka mencoba menariknya dalam ranaah politis dengan meminta referendum dan pengecualian untuk daerahnya, kalo ini terjadi bisa jadi embrio hancurnya negeri ini, kembali ke masa lalu yang merupakan kerajaan2 dengan kewenangan masing2

  4. mun pendapat unda kada ngaleh.. ayu haja pamarintah handak maulah replika karajaan, tp hanya sbg simbul sajarah bahwa d banjar niya pernah jua berjaya kerajaan nang cukup tarkanal.. amun pacang mancarii nang pantas bertahta, pacangan camuh banua. soalnya kita sudah tahu sajarah keraaan Banjar dahulu di pacah Walanda. kaina bisa bacakut papadaan marabutakan tahta bubuhan tutus2 nang marasa berhak.
    nang jalas mun di ulah jua, tu gasan anak cucu kita supaya tahu kesah banuanya saurang, kd banua org haja..

  5. Ass. Wr. Wb. Masalah pewaris kesultanan ,memang, terasa ada semacam ganjalan karena dalam fakta sejarah ada tutus tuha dan tutus anum. Kedua tutus ini menurut saya pribadi keduanya memiliki ‘kelebihan’ dan ‘kekurangan” masing2. Tutus tuha secara de Jure (zuriat Pr. Antasari) sebagai pewaris tahta yang tutus , dan berdomisili di kalimantan selatan, namun tidak memiliki amanah dari Sultan Adam dan dewan Mahkota sebagai penerus kesultanan. Sedangkan dari tutus anum (zuriat Pr. Hidayatullah) secara defakto layak mewarisi tahta karena adanya surat wasiat dari Sultan Adam ke Pr Hidayatullah sehingga lengkap tradisi suksesi berestafet karena ada amanah tahta, barang pusaka dan tanah lungguh yang diwariskan. Seandainya di Banjar tidak ada keturunan laki2 yang tutus, maka keturunan laki2 Pr. Hidayatullah di pengasingan (di Cianjur) menjadi lazim berhak atas tahta warisan, namun secara budaya kami dibesarkan dalam lingkungan budaya parahyangan yang religius. Kini kedua trah ini tidak memiliki legitimasi kepemimpinan dalam lingkungan NKRI; sehingga sepantasnya bertahta dalam lingkungan keluarga. Di lain sisi dari trah Sultan Sulaeman muncul kepemimpinan secara demokratis. Dan , mohon maaf, sesungguhnya masih menjadi perdebatan apakan lazim mendapat gelar Sultan ( sepengetahuan saya gelar Sultan merupakan restu dari orangtua/leluhur dan Dewan Mahkota. Dan secara hirarki kewenangan dalam pemerintahan ( di luar keagamaan) gelar sultan setara dengan jabatan Gubernur bila melihat realitas sejarah dinasti. Mungkin dengan alasan yang kuat untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan; masalahnya peradaban dan kebudayaan merupakan 2 sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Sistem monarki dan republik jelas berbeda jadi dualisme ini akan terus mengusik sosio-kemasyarakan. Saya yakin para leluhur masih merasakan apa yang ‘terjadi’ sehingga boleh jadi dikedepankan musyawarah antara ke dua tutus ini untuk mencari solusi terbaik sehingga terasa kebersamaan yang dapat diterima oleh keluarga besar kesultanan dan masyarakat terutama para ulama, tokoh masyarakat dan budayawan, tanpa mengesampingkan jatidiri sebagai pewaris kesultanan, karena dalam lingkungan keluarga secara islam hukumnya wajib, sehingga diharapkan masyarakat Kalsel tetap menaruh respek atas keteguhan dalam tradisi untuk meraih puncak prestasi. Bila melihat ke belakang, dalam masa akhir kesultanan terlihat ada upaya untuk mejaga keutuhan dinasty a.l. 1. direstuinya pernikahan antara Sultan Muda Abdurahman dan Putri Pr. Antasari namun tidak dikarunai keturunan
    2. Jiwa besar dan kearifan pamannya Pr. Antasari untuk mendukung Pr. Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan bahkan beliau menjadi Panglima Perang seperti ayahanndanya. Dan visi ini patut menjadi teladan untuk semua. Dinasti ini ,tentu, selayaknya tetap melestarikan dan mengembangkan tradisinya dengan islam sebagai ruhnya sehingga dapat mempersiapkan/ memunculkan zuriat yang unggul bersaing dalam alam demokrasi dengan memberdayagunakankan seluruh warisan kesultanan. Hanya untuk Zuriat yang berhasil terpilih secara demokratis yang berhak disematkan gelar Kesultanan sesuai dengan kesetaraan jabatannya, misalkan Sultan untuk jabatan Gubernur, Sultan Muda untuk jabatan Walikota atau Bupati dst, . Wallahualam.
    Wassalam

    • Makasih pian hakun manulis di sini, kami senang banar tulisan kami ini ada yang menanggapi. Artikel ini kami buat ketika sebelum pengangkatan/penobatan sultan banjar kemarin. Kami sudah coba kirim ke surat kabar, tp tak ada yang berani menerbitkan.

      Sebagai masyarakat awam, kami sangat mengharapkan “seperti kata pian”, dikedepankan musyawarah antara ke dua tutus ini untuk mencari solusi terbaik sehingga terasa kebersamaan yang dapat diterima oleh keluarga besar kesultanan dan masyarakat terutama para ulama, tokoh masyarakat dan budayawan, tanpa mengesampingkan jatidiri sebagai pewaris kesultanan.

      Wassalam

  6. Ya terima kasih kembali.
    Sesungguhnya ada persoalan yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu sejarah perang banjar. Sebagaimana yang saya cermati selama ini nampak seolah-olah masih ada perbedaan dalam masalah ketokohan dalam perang banjar yaitu antara Sultan Pr. Hidayatullah dan Panglima Pr. Antasari.
    Yang ada dalam catatan keluarga kami khususnya ulun pribadi, yaitu :

    I. Dalam buku pelajaran sejarah nasional s/d tahun 70-an, Pr. Hidayatullah termasuk dalam 12 tokoh pelopor pergerakan islam bersama : 1. Pr. Dipenogoro; 2, Imam Bonjol; 3. Teuku Umar; 4. Sentot; 5. Achmad Dahlan; 6 . Sultan Hasanuddin; 7 Djendral Sudirman; 8. Kiai Modjo; 9. K.H.M. Mansyur ; 10 K.H.M. Hasjim Asjari dan 11. HOS Tjokroaminoto. penerbit Pustaka Progressive;

    II. Awal tahun 60-an, K.H Idham Chalid ( putra daerah) sebagai Menko/Wakil Ketua MPRS di lokasi makam Pr. Hidayatullah , menurut informasi di keluarga, telah mendeklarasikan penobatan , Pr. Hidayatullah sebagai Pahlawan Nasional dan sampai saat ini papan nama tersebut masih terpasang sampai saat ini, ( ulun pribadi jadi bertanya-tanya masalah ini ? );

    III. Dalam arsip asli yang ulun pegang, penobatan tersebut dapat ditegaskan dengan adanya kunjungan dari Gubernur Kalimantan Timur yang menziarahinya sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 25 Desember 1964. Arsip berupa ucapan terima kasih atas kunjungan beliau dari a.n. Keluarga Bandjar ; tembusan kepada : a.l 1. J.M. Menko/Wakil Ketua MPRS K.H. Idham Chalid; 2. J.M.Menteri Dalam Negeri 3. J.M. Gubernur Kalteng; 4. J.M. Gubernur Kalsel ; 5. J M. Ketua Perwakilan Pem Kalimantan Utara di Djakarta, 6. J.M Gubernur Jabar 7. Jth Residen Bogor, 8 Jth. Residen Tjiandjur dst.

    IV. Dalam banyak penulisan sejarah perang banjar kontemporer tercatat bahwa Pr. Hidayatullah menyerah/ menyerahkan diri kepada kolonial; tapi ada juga penulisan sejarah yang berbeda;

    V. Tahun 1999 pada periode presiden B.J Habibie ; Pr. Hidayatullah mendapat penghormatan dari NKRI , penganugerahan Bintang Maha Putra Utama, .

    Ulun rasa Pr. Hidayatullah tidak ada pikiran untuk menjadi Pahlawan Nasional, tetapi kita semua sebagai pewaris sejarah berhak diinfomasikan perjalanan sejarah yang sesungguhnya.

    Nampaknya Pr. Hidayatullah dan Pr. Antasari dapat bekerja sama sedemikian dan Pr. Antasari demikian bijaksana mendukung penobatan Pr. Hidayatullah sebagai Sultan dan loyal menjadi Panglima perang.

    Wallahualam.

Tinggalkan komentar